Pada Rabu (08/02), Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) mengadakan visiting lecture bertemakan “Greek Economic Crisis: Lessons Learnedâ€. Visiting lecture merupakan sebuah kuliah tamu yang mengundang narasumber dari pihak luar guna mendapatkan ilmu baru. Pada kesempatan kali ini, Prof. Sophia P. Dimelis yang merupakan Profesor di Departemen Informasi di Athens University of Economics and Business (AUEB) hadir sebagai pemateri.
Jalannya diskusi pada acara yang dilaksanakan secara hybrid tersebut dipandu oleh Drs. Akhsyim Afandi, MA.Ec., Ph.D. selaku moderator. Saat membuka sesi diskusi, Akhsyim menuturkan bahwa topik ini penting untuk didiskusikan sebab perekonomian Yunani serta kisah krisis negara tersebut sangat spesial. “Between 2008 until 2016, Greece experienced a drop in GDP and the unemployment rate increased by 6 percent,†ungkap Akhsyim.
“The Greek crisis has actually been a global phenomenon because we’ve seen case studies in all universities and countries. It’s not only a crisis in Europe but also globally,†tutur Sophia di awal penyampaian materi. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa Yunani telah mengalami salah satu resesi paling parah dan terpanjang secara global pasca krisis keuangan 2008, dimana pendapatan negara menyusut lebih dari 25 persen, properti kehilangan lebih dari sepertiga nilainya, pengangguran mencapai 28 persen, defisit anggaran mencapai hampir 16 persen dari PDB, dan utang publik mencapai 180 persen dari PDB.
Lebih lanjut, Sophia mengungkapkan bahwa ekonomi Yunani relatif tertutup dan dikendalikan oleh kepentingan pribadi. “After joining the euro in 2001, Greece could borrow money at low interest rates. As a result, the government boosted spending. Poor tax administration and excess spending resulted in deficits, in which public revenues are lower than public expenses. So that the public debt (accumulation of deficits) soared quickly,†ujarnya menambahkan.
Yunani diselamatkan dari kegagalan melalui loan packages (bailout) dari lembaga-lembaga Eropa dan International Monetary Fund (IMF) yang dikondisikan pada program penghematan dan perubahan struktural. Pemerintah Yunani menyelesaikan tiga program bailout ekonomi tersebut pada bulan Agustus 2018 yang berjumlah sekitar $360 miliar. Pada tahun 2017-2019, Yunani kembali ke arah pertumbuhan, kemudian terhenti pada tahun 2020. Namun, di tahun 2022 terdapat prospek yang bagus meskipun memang masih terdapat ketidakpastian yang disebabkan oleh perang ataupun krisis energi.
Belajar dari krisis Yunani, pemerintah perlu mengambil berbagai langkah kebijakan guna menghadapi kemungkinan datangnya masa sulit tersebut. “We need a framework to develop and grow. The Greek people can do very well if we have a good framework to start with,†pungkas Sophia. (ADC)