Perkembangan Ekonomi Terkini dan Kebijakan Fiskal Indonesia menjadi materi dalam Kuliah Umum Program Studi Ilmu Ekonomi UII bersama Kementerian Keuangan Badan Kebijakan Fiskal, pada Kamis (17/10). Kuliah umum dipimpin oleh Lak Lak Nazhat El Hasanah selaku dosen Prodi Ilmu Ekonomi UII, dan dipimpin oleh Iis Iskandar, Kepala Subbidang Non Primer pada Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI.

 

Penururan dalam perekonomian global berimplikasi kepada penurunan permintaan secara global, tak lain juga Indonesia. Kontraksi Amerika Serikat memberikan alarm krisis bagi negara lain. Apabila Indonesia tidak siap, krisis pun tak dapat dihindari.

 

Di tengah perekonomian global yang penuh tantangan, PDB Indonesia mencapai 5,5%. Data ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia cenderung stabil (di atas 5%), dibanding negara lain. Fakta ini didukung oleh konsumi rumah tangga yang menopang PDB Indonesia. Menurut data Kemenkeu, barang tersier (informasi dan komunikasi) merupakan penyumbang terbesar sebagai penyelamat PDB. Sedangkan industri pertambangan menjadi penyumbang angka terendah pada PDB (-0,71%).

 

Meninjau pertumbuhan ekonomi spasial, berdasarkan data kemenkeu wilayah jawa masih tumbuh di atas nasional. Tingkat kemiskinan terhitung menurun, namun secara absolut jumlah masyarakat miskin masih terhitung banyak. Penggunaan APBN dalam membentuk SDM yang terampil dan sehat dicerminkan pada alokasi dana Pendidikan dan kesehatan yang tinggi.

 

Asumsi dasar ekonomi makro yang dibuat oleh BKF memproyeksi model perekonomian Indonesia di masa depan. Arah dan startegi kebijakan fiskal 2020 bertemakan “APBN untuk akselerasi daya saing melalui inovasi dan penguatan kualitas SDM”. Sedangkan strategi 2020 bertajuk “Eskpansif Terarah dan Terukur”.

 

Visi Indonesia maju 2045 digenjot melalui penguatan infrastruktur, kualitas SDM, teknologi, birokrasi pemerintah, tata ruang wilayah, dan sumber daya ekonomi. Pada sekarang ini, Indonesia memasuki industri 4.0 dengan mencoba menerapkan Cyber Physical Sistem.

 

Pertumbuhan ekonomi global memberikan arti bagi Indonesia dan dunia. Tantangan untuk bertahan harus dijawab dengan pemanfaatan peluang. Seluruh potensi yang dimiliki perlu untuk dimaksimalkan, dari perancangan APBN sampai penggunaannya.  Potensi ekonomi digital Indonesia juga memiliki peluang untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Perkembangan StartUp menempatkan Indonesia sebagai pemilik StartUp terbanyak ke-3 di Dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris.1

Pada hari Selasa, 12 Maret 2019 Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan kuliah umum yang bertajuk Peluang dan Tantangan Fintech di Era Digital Economy. Kuliah umum tersebut menghadirkan satu pembicara, yakni Budi Harto Saragih dari Head of Channel SME OVO. Acara pada hari ini diselenggarakan pada 10.00 WIB di Aula Utara Fakultas Ekonomi UII. Kuliah umum tersebut tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa Ilmu Ekonomi dari berbagai angkatan, tetapi juga dihadiri oleh beberapa Dosen dari Prodi Ilmu Ekonomi.

Setelah sambutan dari Sahabudin Sidiq, S.E, M.A. Acara yang kedua adalah pemaparan dari pembicara yang akan dibantu oleh Jannahar Saddam Ash Shidiqie, SEI, MEK selaku moderator pada kuliah umum hari ini. Materi pada kuliah umum ini adalah, apa itu Financial Technology? Secara singkat fintech adalah gabungan dari jasa keuangan dan teknologi.

Berbicara tentang perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini telah sampai pada era revolusi industri 4.0 yang menekankan pada pola digital ekonomi. Sebelum memasuki era ini kita sudah melewati perkembangan teknologi yang dimulai pada tahun 1784 industri 1.0, tahun 1870 industri 2.0, tahun 1969 industri 3.0. Gambaran kecil dari industri 4.0 adalah kuliah dengan pembelajaran tidak bertemu secara langsung menggunakan teknologi digital (online) dengan pengembangan infrastruktur MOOC (Massive Open Online Course), teaching industry, dan e-library.

Mengapa fintech bisa semakin maju? Hal tersebut disebabkan karena populasi masyarakat Indonesia sebesar 262 juta, setengahnya melek internet. Masyarakat yang menggunakan sosial media hampir 40%, dan dalam satu hari tanpa sadar kita telah menggunakan handphone selama delapan jam dan membuka sosial media selama dua jam. Oleh karena itu, e-commerce kita naik cukup banyak, melalui sosial media yang banyak bermunculan iklan dan iklan tersebut yang mendorong e-commerce semakin naik.

Bill Gates (1994) “Banking is necessary, Banks are not…” artinya apa? Jika kita lihat di Indonesia dengan 262 juta penduduknya yang mempunyai rekening bank hanya 40%, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena akses untuk membuka rekening bank sangat susah. Bukan hanya itu, dalam peminjaman uang pun masyarakat mengalami kesusahan dalam bertransaksi dengan bank. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang beralih melakukan peminjaman melalui fintech.

Fintech itu tidak jauh dari payment dan lending, seperti yang kita ketahui e-commerce seperti Tokopedia sekarang tidak hanya menawarkan jual beli barang saja, tetapi mereka sekarang sudah masuk dalam dunia pinjam meminjam. Kelebihan fintech dari bank dalam proses pinjam meminjam adalah dari kelengkapan data yang dimiliki, fintech dapat memiliki data yang sangat lengkap bagi calon peminjam dibandingkan dengan bank. Oleh karena itu, pada saat ini peminjaman melalui bank telah kalah dengan peminjaman melalui fintech.

Saat ini di Indonesia ada tiga lembaga yang berwenang mengatur fintech, yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo). Pemerintah Indonesia membuat peraturan mengenai fintechkarena 60% GDP Indonesia datang dari UMKM, oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk membuat peraturan yang jelas dalam dunia fintech dan UMKM.

Tantangan bagi OVO sendiri adalah bukan dari cyber crime yang dapat terjadi pada dompet digital, melainkan money laundry yang sering terjadi apabila berkaitan dengan dompet digital dan harus kita ketahui bahwa kompetitor OVO, Gopay,  itu sendiri bukan perbankan melainkan uang tunai. (ARS/SM)